#3 Sepuluh Menit Sebelum


[ding]
"Halte Karet Kuningan"
...

Denting pelan dan rekaman pengumuman monoton wanita dari pengeras suara sedikit membangunkan Tara dari tidur singkatnya semenjak ia naik dari Dukuh Atas. Setengah sadar, ia merogoh kedalam saku kanannya untuk mencari ponsel, tindakan otomatis yang selalu ia lakukan ketika terbangun dari tidur, dimanapun.

Mati. Layar ponselnya gelap tanpa daya. Sepertinya mati ketika dia mulai tertidur di bangku belakang Trans Jakarta setelah  seharian ia abaikan di sudut meja kerjanya, tersembunyi dari balik laptop. Tasya mungkin sudah tidur, pikir Tara. Besok pagi-pagi sekali dia akan kerumah Tasya dan mengajak pacarnya itu pergi sarapan, sebagai bentuk sogokan kecil untuk menghindari Perang Dunia III.

[ding]
"Halte GOR Sumantri"
...

Mata Tara terbuka semakin lebar setelah tiba-tiba nahkoda angkutannya memutuskan untuk menginjak rem dengan keras, yang hentakannya sangat terasa sebab ia duduk di deretan bangku paling belakang, hampir tepat di atas ban. Setelah terdiam beberapa detik mencoba mencerna di halte mana dia sekarang berada, Tara berangsur bangun dan melambai pelan pada petugas penjaga pintu, meminta agar pintu tidak dulu ditutup karena nampaknya tidak ada penumpang baru yang akan naik.

"Tahan."
Seru petugas lantang, meski terdengar lelah dan agak serak. Tara mengangguk berterimakasih dari pintu belakang, lalu melompat kecil ke serambi stasiun yang kosong melompong. Desisan pelan pintu otomatis bus di belakangnya, mengiringi lamunan baru senada deru pelan yang hilang dengan cepat, mengukuhkan kekosongan yang mengelilingi Tara. Kekosongan yang sudah akrab ia rasakan semenjak mulai bekerja hampir 4 tahun lalu. Kekosongan yang dengan cepat mematikan antusiasme ketika ia masih lulusan baru, merubah wajah berbinarnya ketika pertama menginjakkan kaki di lobi Mid Plaza 2, menjadi raut lelah lengkap dengan kantung mata dan cangkang formal dari jiwa yang terus-menerus dipukuli rutinitas, tanpa ada ruang eksplorasi diri atau kesempatan untuk memperkaya tabungan batin.

Masih sambil melamun, Tara beranjak keluar halte, melakukan rangkaian gerakan tangan otomatis untuk membuka pintu akses dan perlahan menjajakki pelantar yang menanjak landai, menyambungkan halte dengan JPO yang akan membawanya ke seberang Pasar Festival, untuk melanjutkan berjalan kaki 10 menit, menuju apartemennya di Jalan Denpasar.

Apartemen yang ia cicil selain atas dasar investasi, juga sebagai caranya mengatakan pada Ibunya bahwa ia tidak perlu lagi mengkhawatirkan anak pertamanya ini, karena ia sudah jadi orang dewasa yang mapan dan mampu bertanggung jawab mengurus orang-orang di sekitarnya, dalam hal ini, adik kecilnya, Ayra. Tidak perlu lagi berjuang sekeras dulu ketika Ayah "berhenti" jadi kepala keluarga, berusaha setengah mati menghidupi diri sendiri beserta dua orang anak dengan rentang umur yang dekat, tantangan terbesar bagi orangtua manapun yang sadar pentingnya pendidikan formal. Tidak perlu lagi setiap hari melakukan pemeriksaan pesanan katering, belanja bahan kesana-sini, berhutang untuk pembukaan rumah makan baru di kota baru, menangis tengah malam karena dadanya sesak penuh kekhawatiran dan ketakutan, ketika ia tenggelam dalam pemikiran bahwa ia belum melakukan cukup banyak untuk anak-anaknya.

"Malam, Mas Tara."

Teguran ramah satpam jaga malam, menyadarkan Tara dari lamunan yang ia bawa sepanjang jalan tanpa sadar. 

"Eh, iya malam Mas Bay." Tara tersenyum seraya mengambil kartu aksesnya, "Adek udah naik?" tanya Tara sambil lalu.

"Udah mas, tadi turun juga ambil delivery makanan." jawab Mas Bayu yang ikut menemani Tara berjalan sampai pintu akses.


"Oh, mantap." ujar Tara tanpa antusiasme, "Yaudah Mas Bay, saya naik dulu ya?"

"Silakan mas, selamat istirahat."

"Kapan lah kita warkop lagi." Tutup Tara sambil masuk lift, diiringi tawa Mas Bayu, yang dua bulan kemarin dikalahkan Tara dalam permainan gapleh di warung kopi samping apartemennya, awal dari candaan rutin yang selalu ia lontarkan pada Mas Bayu hampir setiap malam sepulang kantor.


Candaan rutin, pikir Tara setengah sedih. Bercanda saja pakai rutinitas, Tar.

[ding]
Pintu elevator membuka perlahan. Bubur, pikir Tara melanjutkan lamunannya soal Tasya, di dekat rumah Tasya ada bubur yang enak dan lumayan terkenal juga, jadi ada nilai tambah juga kalo pacarnya itu merasa perlu untuk mengunggah foto sarapan pagi untuk instagramnya.

[beep]

Sembari menyetujui rencananya sendiri, Tara berangsur masuk unit 417, rumahnya selama sekitar 7 bulanan ini. Masih terasa baru dan asing, tanpa personaliti. Kecuali beberapa lukisan minimalis Ayra yang dibuat ketika adiknya itu magang di galeri seni semasa kuliah dulu. 

"Eh, Ra. Belum tidur?" Tara menyapa sembari membuka sepatu. "Jadi delivery apa?"


gambar diambil dari:
https://d2v9y0dukr6mq2.cloudfront.net/video/thumbnail/5PNlDRM/view-inside-the-night-bus_m1lknsyh__F0000.png

Komentar